Cerita yang akan anda baca ini
bersumber dari cerita wayang yang dibawakan oleh seorang ulama jaman dahulu
dimasa penyebaran Islam ditanah jawa. Saya mencoba menulis ulang dalam versi
berbahasa Indonesia agar kita lebih mudah memahami maksud dan makna dari cerita
tersebut.
Alkisah ada sebuah desa yang
terletak jauh dari pusat kota. Hidup satu keluarga miskin yang beranggotakan
seorang Ibu, bapak dan seorang anak laki-laki berusia 8 tahun. Sebut saja
keluarga bapak Karsaji, dalam kesehariannya bekerja sebagai tukang becak di
pasar. Kadang jika ada pekerjaan tambahan dia juga sering ikut merawat sawah
pak haji Sutani dengan upah yang lumayan. Tidak hanya Karsaji, banyak warga
sangat mencintai haji Sutani. Karena selain beliau kaya dan dermawan, beliau
juga seorang Alim yang penyebarkan Islam di desa itu.
Hingga disuatu hari haji Sutani
mengalami sakit dan mendekati sakaratul maut. Semua warga berkerumun menjenguk
tidak lupa juga karsaji. Dengan perasaan haru diliputi sedih karsaji menerobos
ratusan penjunguk. Sampai dia di kamar pak haji air matanya tak lagi terbendung.
Isak tangis dibarengi oleh seluruh warga yang tak kuasa mengenang jasa beliau. Haji
sutani malah tersenyum lalu berpesan pada karsaji, “karsaji, aku ingin kamu
jadi kelak bisa jadi orang yang mengantarku jalan-jalan ditaman surga seperti
kamu mengantarkanku melihat perkebunan sawah milikku yang kamu rawat”. Karsaji yang
tadinya menangis terkejut dengan ucapan beliau. “pak haji bisa aja” sahut
karsaji. “ji, aku berwasiat kepadamu. Aku ingin kamu meneruskan perjuanganku
menyebarkan Islam di kampung kita ini.” Kata haji sutani mulai melemah. “saya
orang miskin pak, dengan apa saya bisa menjalankan wasiat pak haji?” jawab
karsaji dengan bingung dan sedih. “dengan anakmu ji,. InsyaAllah kamu bisa menemuiku
kelak di surga karna anakmu” kata pak haji yang terakhir hingga beliau berhenti
bernafas.
Isak tangis menyelimuti seluruh
penjuru desa. Takmir masjid mulai mengumandangkan ajakan sholat jenazah pak
haji sutani. Masyarakat desa seperti merasakan kehilangan seseorang yang sangat
disegani dan dicintainya. Dalam benak karsaji tersirat pikiran apa yang dia
perbuat untuk bisa menjalankan wasiat pak haji. Dia merasa dirinya paling
miskin diantara seluruh warga. Tidak ada yang bisa dilakukan orang miskin
kecuali bekerja dan bekerja mana sempat mengurus warga.
40 hari sepeninggal haji sutani,
karsaji tetap memikirkan wasiat beliau. Hingga pada suatu ketika dia menemukan
buku catatan beliau ketika mengaji di musolah pak haji. Dibukunya tertulis
Dari Abu Hurairah r.a. bahawa Nabi Muhammad s.a.w bersabda:
"Apabila seorang anak Adam mati putuslah amalnya kecuali tiga perkara :
sedekah jariah,atau ilmu yang memberi manfaat kepada orang lain atau anak yang
soleh yang berdoa untuknya." (Hadith Sahih - Riwayat Muslim dan
lain-lainnya)
Sontak dia memanggil anak kandung tercintanya “dul, Abdul kesini nak. Bapak
mau bicara kepadamu” teriak karsaji. Walaupun nakal Abdul adalah anak yang
penurut kepada orang tua. Dia langsung menemui karsaji. “ada apa pak?”, jawab
Abdul. “dul, besok bapak akan membawamu menuntut ilmu di pondok pesantren. Hanya
kamu nak yang bisa bapak andalkan untuk menjalankan wasiat pak haji” kata
karsaji dengan nada sedih. “kamu jangan pernah pulang selagi kamu belum jadi
orang Alim”, tambahnya.
Keesokan harinya segeralah karsaji mengantarkan anaknya ke pondok
pesantren. Dengan rasa sedih dan tidak tega dia berpesan lagi kepada anaknya “ingat
nak, kamu jangan pulang sebelum kamu jadi orang Alim. Apa pun yang terjadi”. Kalimat
itu membuat derai air mata karsaji dan istrinya tak terbendung lagi. “masuklah
anakku, Ridho kami selalu untukmu” kata terakhir Ibunya seraya mencium kening
Abdul.
Hari demi hari bulan demi bulan berganti rasa rindu keluarga tidak dapat
dibendung lagi. Istri karsaji mengajak karsaji menjenguk anaknya di pesantren. Tetapi
takdir tetaplah takdir, dalam perjalanan menuju pondok tempat anaknya menimba
ilmu justru menjadi akhir perjalanan hidup mereka. Abdul yang mendengar kabar
meninggalnya kedua orang tua mereka membuat hatinya sedih. Dia berniat akan
pamit pulang tetapi dia teringat pesan terakhir bapaknya. “jangan pulang selagi
kamu belum jadi orang Alim” katanya dalam hati. Dia memaksakan diri untuk tetap
tidak pulang.
Tibalah saat jenazah karsaji dimakamkan.
Malaikat penanya kubur pun mulai melakukan introgasi “mati kak ji?” Tanya malaikat
sebelum introgasi. “mati malaikat, badageblok supir bis orang jalan kaki masih
aja ditabrak” jawab karsaji dialam kubur. Tanya jawab pun mulai dilakukan dan
karsaji ternyata bisa menjawabnya dengan lancar. Sebagai penutup malaikat
bertanya “pahala kamu kok Cuma segini ji, mana cukup buat masuk surga?”. “ehh,..
mau gimana lagi kat, saya kan dulu orang miskin ya gak bisa sedekah, gak bisa haji
ya maklum lah” jawab karsaji sambil bersedih. Ternyata belum sampai dia menutup
mulutnya datang sesosok malaikat membawakan amal perbuatan baik yang cukup
banyak. Sontak karsaji terkejut “ini pahala siapa ya?”, Tanya karsaji pada
malaikat yang membawanya. “ini pahala dari anak kamu yang ada di pondok
pesantren pak karsaji
. Setiap hari dia selalu menghadiahkan doa padamu dan juga
istrimu. Dan akan ditambah lagi setiap kali dia membaca Alquran, sholawat dan
setiap ibadah yang dia lakukan disana kalian dapat jatah pahala. Maka bergembiralah
kamu pak karsaji” jawab malaikat. “Alhamdulillah ya Allah engkau anugerai hamba
anak yang sholeh.. selamet malaikat anakku aku taruh dipondok., coba dulu aku taruh
di kos-kosan pasti aku gak bakal kayak gini,,,hahahaha”. Sahut gembira karsaji.
Alkisah semakin hari semakin tinggi
Ilmu agama anak karsaji. Hingga pada suatu hari dia dipanggil oleh kyai
besarnya. “Abdul, kamu disini sudah cukup lama. Ilmu agama yang kamu pelajari
bapak rasa sudah cukup untuk kamu gunakan untuk kesejahteraan masyarakat. Sekarang
kamu pulang dan penuhi wasiat bapakmu” kata pak Kyai. “pak Kyai saya merasa
tidak cukup Alim seperti teman yang lain. Tetapi kalau pak Kyai meridhoi maka
saya akan melaksanakannya” jawab Abdul dengan rasa sedih karena akan
meninggalkan pondok tercintanya. Setelah berpamitan dengan teman-temannya serta
para sesepuh pondok akhirnya dia pun pulang ke desa tempat lahirnya.
Sesampai di desa dia pun menjadikan
rumahnya dulu sebagai tempat untuk mengajar ngaji anak-anak kecil, tidak jarang
pula banyak orang yang sekedar ingin konsultasi masalah agama dan lambat laun
rumah yang awalnya hanya sebuah gubuk bambu akhirnya berubah jadi pondok
pesantren megah di desanya dengan ratusan santri. Dia menjadi panutan
masyarakat. Tak hayal pak karsaji merasa sangat bangga dengan anak tunggalnya. Setiap
hari bahkan setiap detik kiriman amal baik selalu mengalir ke rekening alam
barzah tempatnya berbaring. Sungguh ini adalah suatu karunia yang paling
mengesankan bagi seorang tukang becak yang hanya bermodal Iman.
ijin share ya....
ReplyDelete