Subscribe For Free Updates!

We'll not spam mate! We promise.

PLURALISME GUS DUR, GAGASAN PARASUFI

 

 

terserah jika ada orang yang tidak
suka atau berbeda pendapat dengan
sebutan ini, termasuk para pecintanya
sendiri. Konon, Djohan Efendi, sahabat
setia Gus Dur, pernah diminta Gus Dur agar jika ia kelak wafat, nisannya ditulis
“Di Sini Dikubur Sang Pluralis”. Terlepas
pesan itu benar diucapkan Gus Dur
atau tidak, dan tak peduli masyarakat
memperdebatkan maknanya, tetapi
beliau orang yang selalu ingin memandang manusia, siapapun dia
dan di manapun dia berada, sebagai
manusia yang adalah ciptaan Tuhan. Sebagaimana Tuhan
menghormatinya, Gus Dur juga ingin menghormatinya. Sebagaimana Tuhan mengasihi makhlukNya, Gus Dur
juga ingin mengasihinya. “Takhallaq bi
Akhlaq Allah” (berakhlaklah dengan
akhlak Allah), kata pepatah sufi. Sejauh
yang saya tahu, Gus Dur tak banyak
bicara soal wacana Pluralisme berikut dalil-dalil teologisnya. Tetapi ia
mengamalkan, mempraktikkan dan
memberi mereka contoh atasnya. Pluralisme jauh lebih banyak
dipraktikkan dalam kehidupan sehari-
hari Gus Dur dibanding diwacanakan.
Kalaupun ia diminta dalil agama, ia
akan menyampaikan ayat al-Quran ini :
“Wahai manusia, Aku ciptakan kalian terdiri dari laki-laki dan perempuan.
Dan Aku jadikan kalian berbangsa-
bangs a dan bersuku-suku, agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya
manusia yang paling mulia di antara
kalian di mataKu, ialah orang yang
paling bertaqwa kepadaKu.” “Li ta’arafu” (saling mengenal), tidak
sekedar tahu nama, alamat rumah,
nomor handphone, atau tahu wajah
dan tubuh yang lain. Saling mengenal
adalah memahami kebiasaan, tradisi,
adat-istiadat, pikiran, hasrat yang lain, yang berbeda, yang tak sama. Lebih
dari segalanya “li ta’arafu” berarti agar
kalian saling menjadi arif bagi yang
lain. Yang paling mulia di hadapan Tuhan
adalah yang paling taqwa, bukan yang
paling gagah atau cantik, bukan yang
paling kaya atau rumah megah. Taqwa
bukan sekedar dan hanya berarti
sering datang ke masjid atau menghadiri secara rutin majlis ta’lim,
membaca kitab suci, memutar-mutar
tasbih, bangun malam, atau puasa
saban hari. Tetapi lebih dari itu taqwa
adalah mengendalikan amarah, hasrat-
hasrat rendah, menjaga hati, tidak melukai, tidak mengancam, ramah,
sabar, rendah hati dan sejuta makna
kebaikan kepada yang lain dan
kepada alam. Dalam sejumlah kesempatan Gus Dur
menyampaikan makna taqwa dengan
menyitir ayat-ayat al-Quran ini: ِﻕِﺮْﺸَﻤْﻟﺍ َﻞَﺒِﻗ ْﻢُﻜَﻫﻮُﺟُﻭ ﺍﻮُّﻟَﻮُﺗ ْﻥَﺃ َّﺮِﺒْﻟﺍ َﺲْﻴَﻟ
ِﺮِﺧﻵﺍ ِﻡْﻮَﻴْﻟﺍَﻭ ِﻪَّﻠﻟﺎِﺑ َﻦَﻣﺁ ْﻦَﻣ َّﺮِﺒْﻟﺍ َّﻦِﻜَﻟَﻭ ِﺏِﺮْﻐَﻤْﻟﺍَﻭ ِﺔَﻜِﺋﻼَﻤْﻟﺍَﻭ َﻦﻴِّﻴِﺒَّﻨﻟﺍَﻭ ِﺏﺎَﺘِﻜْﻟﺍَﻭ ﻰَﻠَﻋ َﻝﺎَﻤْﻟﺍ ﻰَﺗﺁَﻭ َﻦﻴِﻛﺎَﺴَﻤْﻟﺍَﻭ ﻰَﻣﺎَﺘَﻴْﻟﺍَﻭ ﻰَﺑْﺮُﻘْﻟﺍ ﻱِﻭَﺫ ِﻪِّﺒُﺣ َﻦْﺑﺍَﻭ َﻦﻴِﻠِﺋﺎَّﺴﻟﺍَﻭ ِﻞﻴِﺒَّﺴﻟﺍ َﺓﻼَّﺼﻟﺍ َﻡﺎَﻗَﺃَﻭ ِﺏﺎَﻗِّﺮﻟﺍ ﻲِﻓَﻭ
ﺍﻭُﺪَﻫﺎَﻋ ﺍَﺫِﺇ ْﻢِﻫِﺪْﻬَﻌِﺑ َﻥﻮُﻓﻮُﻤْﻟﺍَﻭ َﺓﺎَﻛَّﺰﻟﺍ ﻰَﺗﺁَﻭ َﻦﻳِﺮِﺑﺎَّﺼﻟﺍَﻭ ِﺱْﺄَﺒْﻟﺍ َﻦﻴِﺣَﻭ ِﺀﺍَّﺮَّﻀﻟﺍَﻭ ِﺀﺎَﺳْﺄَﺒْﻟﺍ ﻲِﻓ
َﻥﻮُﻘَّﺘُﻤْﻟﺍ ُﻢُﻫ َﻚِﺌَﻟْﻭُﺃَﻭ ﺍﻮُﻗَﺪَﺻ َﻦﻳِﺬَّﻟﺍ َﻚِﺌَﻟْﻭُﺃ “Bukanlah menghadapkan wajahmu
ke arah timur dan barat itu suatu
kebajikan, akan tetapi sesungguhnya
kebajikan itu ialah beriman kepada
Allah, hari kemudian, malaikat-malaik
at, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya
kepada kerabatnya, anak-anak yatim,
orang-orang miskin, musafir (yang
memerlukan pertolongan) dan orang-
orang yang meminta-minta; dan
(memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan
zakat; dan orang-orang yang menepati
janjinya apabila ia berjanji, dan orang-
orang yang sabar dalam kesempitan,
penderitaan dan dalam peperangan.
Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-
orang yang bertakwa”.(QS. al-Baqarah
ayat 177). Semua itulah makna taqwa yang
dipahami Gus Dur. Dari ayat al-Quran ini
Gus Dur sering mengatakan bahwa
Islam itu terdiri dari 3 rukun (pilar):
Rukun Iman, Rukun Islam, dan Rukun
Tetangga. Saya kira apa yang dimaksud Gus Dur tentang rukun yang
ke tiga ini adalah Rukun Kemanusiaan.
Gus Dur tentu bukan tidak tahu Rukun
ini dalam konteks tradisi Islam disebut
Ihsan. Tetapi Ihsan dalam
pengertiannya adalah Kemanusiaan tadi. Dengan itu, Gus Dur tampaknya ingin
menggugah kesadaran kaum muslimin
agar tidak mengabaikan atau
mereduksi rukun tersebut, sekaligus
mengingatkan bahwa ia menjadi
tujuan dari agama dalam kehidupan manusia di dunia. Maka Gus Dur, sering
bicara tentang kejujuran, keteguhan/
kesabaran dalam berjuang,
menghargai orang dan mengadvokasi
siapa saja yang menderita dan yang
ditindas. Lebih dari itu, ia bukan hanya sekedar menghargai atau
menghormati manusia yang berbuat
baik, melainkan juga menyambutnya
dengan rendah hati dan rengkuhan
yang hangat. Sebaliknya, ia akan menentang siapa
saja yang merendahkan martabat
manusia, apalagi menyakiti,
mengurangi dan menghalangi hak-hak
mereka. Ia akan membela mereka yang
martabat kemanusiaannya direndahkan, mereka yang hak-
haknya dikurangi, dipasung, disakiti
dan ditelantarkan. Ketika para pengikut Ahmadiah diusir
dan masjid-masjid mereka dirobohkan,
Gus Dur hadir bersama mereka. Ketika
Gereja-gereja dilempari batu, ia
berteriak “jangan”. Ketika Inul
Daratisna dihujat ramai-ramai karena dia bergoyang-goyan g dan meliuk- liukkan tubuhnya bagai bor, ia
“memeluk”nya dengan hangat. Ketika
Dorce disoraki karena berganti
kelamin, ia mengajaknya bicara
dengan lembut dan penuh kasih. “Jika
itu adalah dirimu, teruslah bekerja”, katanya. Ketika urusan gambar tubuh polos
perempuan (pornografi) hendak
diserahkan kepada Negara, ia
berdemonstrasi bersama isteri
tercintanya; Shinta Nuriah dan
bersama-sama mereka yang menghargai kemanusiaan. Ketika
orang-orang Thionghoa meminta hari
raya Imlek dan Barongsae, ia
memberikannya dengan tulus. Meski
tak bisa melihat dengan matanya, ia
hadir menyaksikan tarian-tarian singa itu dan bertepuk tangan. Gus Dur
senang. Seringkali kita melihat sikap
perlawanan dan pembelaan itu
dilakukannya sendirian. Ia berjalan
sendiri, meski ia harus
mempertaruhkan jiwanya. Ia tak
peduli. Dalam perlawanannya terhadap pembredelan tabloid Monitor dan
pembelaannya terhadap Salman Rusydi
dalam kasus bukunya Satanic Verses,
yang bikin heboh itu, misalnya, Gus Dur
tak menemukan mata lain yang penuh
pengertian. Ia berjalan sendiri. Seorang sufi mengatakan: “Ia yang
jiwanya telah mencapai kesadaran
yang matang, bantuan eksternal tak
lagi diperlukan”. Dan Gus Dur sanggup
menjalaninya seorang diri dengan
tegar, karena ia telah matang. “La Yakhaf Laumata Laa-im” (ia tak pernah
takut pada mata yang membenci). Kata
Gus Dur; “Ditempatkan di urutan
manapun, Muhammad bin Abdullah
tetap saja sang penghulu para nabi dan
utusan Tuhan, Insan Kamil.” Bagi Gus Dur semua manusia adalah
sama, tak peduli dari mana asal
usulnya, apa jenis kelamin mereka,
warna kulit mereka, suku mereka, ras
dan kebangsaan mereka. Yang Gus Dur
lihat adalah bahwa mereka manusia seperti dirinya dan yang lain. Yang ia
lihat adalah niat baik dan
perbuatannya, seperti kata Nabi:
“Tuhan tidak melihat tubuh dan
wajahmu, melainkan amal dan hatimu.” Gus Dur bukan tidak paham bahwa ada
yang keliru, ada yang tidak ia setujui
atau ada yang salah dari mereka yang
dibelanya. Gus Dur tetap saja nembela
mereka. Ia membela karena tubuh
mereka diserang dan dilukai hanya karena baju agamanya yang berwarna
lain, harta mereka dirampas semaunya,
ekspresi-ekspre si diri mereka dihentikan secara paksa oleh negara
atau direnggut dengan pedang oleh
otoritas dominan dan kehormatan
mereka diinjak-injak. Padahal mereka
tak melakukan apa-apa. Membela
kehormatan adalah perjuangan besar. Bagi Gus Dur, ekspresi-ekspre si diri, personal, individual, yang dianggap
sebagian orang sebagai tak bermoral,
tak boleh melibatkan Negara, tak boleh
diintervensi kekuasaan, tetapi harus
diselesaikan sendiri oleh masyarakat
dengan cara-cara yang mereka miliki dan dengan mengaji yang sungguh-
sungguh , sampai khatam dan dengan ketulusan. Bagi Gus Dur, keyakinan dan pikiran
tak bisa dinamai tak bisa diberi tanda.
Pikiran adalah misteri yang
tersembunyi. Ia bagaikan burung yang
terbang di langit lepas. Tuhanlah yang
menganugerahkan pikiran-pikiran pada hamba-hambaNya. Dialah Pemilik nafas setiap yang hidup dan
Dialah yang akan menanyainya kelak,
bila tiba masanya. Karena itu, hanya
Dialah yang berhak menamainya dan
menghakiminya, tidak yang lain. Kata Rumi dalam Fihi Ma Fihi: ْﻮَﻟَﻭ َﻚْﻨَﻋ ِﺮَﻜِﻔْﻟﺍ َﻚْﻠِﺗ ُﺩﺎَﻌْﺑِﺇ َﻚِﻌْﺳُﻭ ﻰِﻓ َﺲْﻴَﻟ
ٍﻲْﻌَﺳَﻭ ٍﺪْﻬُﺟ ِﻒْﻟَﺍ ِﺔَﺋﺎِﻤِﺑ “Tak ada kemampuanmu menjauhkan
pikiran-pikiran itu meski dengan seratus ribu kali rekayasa berkeringat.” ٍﻢْﺳِﺇ َﻥﻭُﺩ ُﻥﻮُﻜَﺗ ِﻦِﻃﺎَﺒْﻟﺍ ﻰِﻓ ْﺖَﻣﺍَﺩ ﺎَﻣ ُﺮَﻜِﻔْﻟﺎَﻓ
ﺎَﻟَﻭ ٍﺮْﻔُﻜِﺑ ﺎَﻬْﻴَﻠَﻋ ُﻢْﻜُﺤْﻟﺍ ُﻦِﻜْﻤُﻳ َﻻ ٍﺔَﻣَﻼَﻋ َﻥﻭُﺩَﻭ
ٍﻡَﻼْﺳِﺈِﺑ. “Sepanjang pikiran-pikiran
tersembunyi di dalam, maka ia tak
bernama dan tak bertanda. Ia tak
mungkin dihukumi kafir atau islam.” Begitulah sikap seorang yang telah
memiliki batin yang bebas. Itulah sifat
seorang sufi, seorang bijak-bestari
yang jiwanya mampu menembus
kedalaman makna kata-kata Tuhan.
Kata-kataNya memiliki dan menyimpan berjuta makna dan tak terbatas.
Pemaksaan atas pikiran dan keyakinan
orang tak akan menghasilkan apa-apa,
sia-sia, kecuali membuat orang dan
keluarganya menjadi sakit, menderita,
dan menghambat kemajuan orang dan peradaban manusia. Tak ada cara lain
untuk menundukkan orang lain
kecuali melalui bicara manis, tanpa
marah-marah dan dengan otak yang
cerdas. Jika tak tunduk, biarkan
masing-masing berjalan sendiri- sendiri , sambil katakan saja: “Anda adalah anda dan aku adalah aku.
Wassalam.” Tindakan dan sikap itu, menurut Gus
Dur, sesungguhnya telah diajarkan
oleh Islam dan para Nabi sejak ribuan
tahun lalu. Ia sering mengutip sumber
literature Islam klasik yang bicara
mengenai hak-hak individu. Salah satunya adalah al-Mustasyfa, karya
Imam Abu Hamid al-Ghazali. Sufi besar
ini mengatakan bahwa tujuan aturan
agama adalah memberikan jaminan
keselamatan keyakinan orang,
keselamatan fisik, keselamatan profesi, kehormatan tubuh dan pemilikan
harta. Al-Ghazali menyebut lima prinsip
dasar perlindungan ini sebagai “al-
Kulliyyat al-Khams”. Orang sering
menyebutnya “Maqashid asy-
Syari’ah” (tujuan-tujuan pengaturan kehidupan). Lima prinsip ini
merupakan pemberian Tuhan pada
setiap manusia yang tak ada seorang
manusiapun berhak mengurangi atau
menghilangkanny a. Inilah basis fundamental (ar-Rukn al-Asasi)
pikiran-pikiran dan langkah- langkah Gus Dur. Meskipun Gus Dur membaca dan
mengerti, tetapi ia tidak mengutip
pandangan atau sumber dari Barat
atau Yahudi, seperti dituduhkan
sebagian orang. Ia menggalinya dari
sumber tradisi Islam sendiri, dan ia mampu menginterpretas ikan dengan cara-cara yang memukau dan genuine,
sejalan dengan konteks kehidupan
yang selalu bergerak. Ia memang
sangat kaya dengan referensi tradisi
Islam klasik ini berikut perangkat
analisisnya: bahasa, sastra, logika, filsafat sosial, dan metode-metode
keilmuan. Melalui penjagaan atas lima prinsip
dasar kemanusiaan universal tersebut,
Gus Dur memimpikan berkembang dan
tersebarnya persaudaraan manusia
atas dasar kemanusiaan (Ukhuwwah
Insaniyyah), tanpa dibatasi sekat-sekat primordial. Ini menurut saya
sesungguhnya merupakan gagasan
para sufi besar. Para sufi yang sejumlah
namanya disebutkan di atas, adalah
orang-orang yang paling vocal
menyuarakan gagasan pluralisme dan persaudaraan universal itu. Tak ada
keraguan sedikitpun di hati mereka
pada prinsip utama agama bahwa tidak
ada di alam semesta ini kecuali Tuhan
Yang Satu yang ke hadapanNya
seluruh yang maujud tunduk. Dan seluruh yang maujud (ada) sejak ia ada
sampai keberadaannya tercabut, selalu
dan terus mencari-cari Dia melalui jalan
dan bahasa yang berbeda-beda. َﻙﺍَﺫ ﻰَﻟِﺍ ٌّﻞُﻛَﻭ ٌﺪِﺣﺍَﻭ َﻚُﻨْﺴُﺣَﻭ ﻰَّﺘَﺷ ﺎَﻨُﺗﺍَﺭﺎَﺒِﻋ
ُﺮْﻴِﺸُﻳ ِﻝﺎَﻤَﺠْﻟﺍ Bahasa kita begitu beragam
tetapi Engkaulah Satu-satunya yang
Indah
Dan kita masing-masing menuju
kepada Keindahan Yang Satu itu Maka kebhinekaan realitas alam
semesta ini seharusnya tidak
menghalangi setiap manusia untuk
memahami pikiran, bahasa dan
kehendak-kehend ak manusia yang lainnya. Para sufi memandang alam
semesta yang beragam dan yang
seluruhnya mengandung keindahan
sebagai “tajalli” Tuhan, perwujudan
rahmat dan keagunganNya di alam
semesta. Keberanekaan berasal dari Tuhan. Dialah Sang Penciptanya. Ibnu Athaillah, nama sufi besar yang
dikagumi Gus Dur, banyak bicara soal
Kesatuan Semesta, meneruskan
gagasan Ibnu Arabi. Ibnu Ajibah
mengomentari gagasan itu dalam
syairnya yang indah: ﻥﺎَﺴْﻧِﺇ ِّﻞُﻛ ﻰِﻓ ًﺍﺪِﻫﺎَﺷ ﻰِﻟﺎَﻤَﺟ ْﺮُﻈْﻧُﺃ
ﻥﺎَﺼْﻏَﺎْﻟﺍ ِّﺱُﺃ ﻰِﻓ ًﺍﺪِﻓﺎَﻧ ﻯِﺮْﺠَﻳ ُﺀﺎَﻤْﻟَﺍ
ﻥﺍَﻮْﻟَﺃ ُﺮْﻫَّﺰﻟﺍَﻭ ﺍًﺪِﺣﺍَﻭ ًﺀﺎَﻣ ُﻩْﺪِﺠَﺗ Lihatlah KeindahanKu
Tampak pada semua manusia Air mengalir,
menembus
pokok dahan dan ranting Engkau mendapatinya
Berasal dari satu mata air
Padahal bunga berwarna-warni Nah, lagi-lagi di sini kita menemukan
jalan yang ditempuh Gus Dur. Gagasan-
gagasan dan tindakan-tindak an pluralismenya ternyata berangkat dari
tradisinya sendiri. Ia tekun mengaji
kitab-kitab klasik raksasa dan primer
sampai khatam. Sayang, kitab-kitab ini
amat jarang dibaca orang atau dibaca
tetapi hanya sampai kulit luar, yang tertulis, yang literal, harfiyah, dan tak
khatam, tak selesai. (Sumber: Majalah Cahaya Sufi)

Socializer Widget By Blogger Yard
SOCIALIZE IT →
FOLLOW US →
SHARE IT →

0 komentar:

Post a Comment