Pohon mudah tumbang jika akarnya
tak kuat, rumah akan roboh jika
pondasinya tidak kokoh. Begitu juga
bangunan fiqih, akan sangat rapuh jika
ushulnya juga lemah. Ushul fiqih sesuai
namanya adalah pokok, landasan dan acuan dalam penentuan hukum fiqih. Banyak yang beranggapan, sangat
mudah menggali hukum dari apa yang
telah diwariskan Nabi; al-Quran dan
Sunnah. Jika sudah tahu arti dan tafsir
dari suatu ayat, maka itulah hukum
fiqih. Jika sudah shahih suatu hadits, maka kenapa kita cari dalil-dalil yang
lain, cari-cari pendapat ulama’. Secara
teori memang semua hukum fiqih
dikembalikan kepada dua hukum asal
itu. Tapi apakah sesederhana itu? Jika hanya sesederhana itu, ternyata
tidak semua orang arab yang sangat
paham bahasa arab lantas bisa menjadi
mujtahid. Bahkan tidak semua
shahabat Nabi yang dikenal dengan
salaf shalih itu menjadi fuqaha’. Kita juga temukan beberapa kekurang
tepatan ijtihad para shahabat yang
diluruskan oleh Nabi sendiri, sebagai
contoh ijtihad mereka atas fatwa mandi
junub bagi shahabat yang kepalanya
luka. Mengingat nash-nash agama yang
terbatas dan kehidupan manusia
cenderung dinamis, maka setelah nabi
dan para shahabatnya wafat, ulama’
menyusun sebuah sistematika berpikir
yang benar untuk meminimalisir kesalahan-kesal ahan dalam ijtihad. Itulah yang kita kenal dengan ilmu
Ushul Fiqih. • Pokok Bahasan Ushul Fiqih Secara bahasa, ushul fiqih berarti dasar
dari fiqih. Adapun secara istilah,
pengertian yang cukup bagus
terhadap ushul fiqih adalah: ﺓﺩﺎﻔﺘﺳﻻﺍ ﺔَّﻴِﻔْﻴَﻛَﻭ ،ﻻﺎَﻤْﺟِﺇ ﻪْﻘِﻔْﻟﺍ ﻞِﺋﺎَﻟَﺩ ﺔَﻓﺮﻌﻣ
ﺪﻴﻔﺘﺴﻤﻟﺍ ﻝﺎَﺣَﻭ ،ﺎَﻬْﻨِﻣ Mengetahui dalil-dalil fiqih secara ijmal,
cara memanfaatkan dalil tersebut, dan
keadaan orang yang memanfaatkan
dalil. [Nihayat as-Suul, 1/10, at-Tahbir
syarh at-Tahrir, 1/180, al-Ushul min ilmi
al-Ushul, 8]. 1. Mengetahui dalil-dalil fiqih ijmal. Para
ulama’ menetapkan bahwa dalil hukum
fiqih terdiri dari beberapa hal; baik
yang disepakati maupun yang
diperselisihkan . Mulai dari al-Quran, hadits, ijma’, qiyas, qaul shahabi,
mashlahah mursalah, istihsan, bara’at
ad-dzimmah, ‘urf, syar’u man qablana,
sadd ad-dzari’ah. Dalam kajian ushul fiqih, jika tidak
ditemukan dalilnya dari al-Quran maka
akan dicari di hadits nabi. Jika tidak
ada, maka masih banyak lagi dalil-dalil
lain. Bukan jika tidak ditemukan dalam
al-Quran dan hadits, maka bid’ah. Bukan hanya dalil; jika baik pasti para
salaf sudah melaksanakan. 2. Cara memanfaatkan dalil itu. Ulama
kadang menggunakan istilah istifadah,
atau istinbath, sedangkan al-Ghazali
(w. 505 H) menggunakan istilah
istitsmar [al-Muastashfa, 180]. Sungguh orang yang belajar ushul
fiqih, akan tahu betapa beratnya
proses ijtihad itu sehingga
menghasilkan suatu hukum fiqih. Bukankah Allah telah memudahkan al-
Quran untuk dipahami setiap
ummatnya, Nabi juga telah
menjelaskan segala sesuatu terkait
agamanya, Islam juga telah sempurna? Semua itu benar, justru adanya ushul
fiqih itu untuk mengawal
kesempurnaan Islam, dengan
menghindari kesalahan-kesal ahan ijtihad dalam penggalian hukum dari
al-Quran maupun hadits. Tak jarang,
cara memahami nash-nash agama bisa
lebih penting daripada nash itu sendiri. Dalam ushul fiqih, dibahas tentang
kaidah kebahasaan dalam memahami
nash, shighat amar, shighat nahyi,
umum dan khusus, muthlaq dan
muqayyad, dalil khitab, mafhum
mukhalafah, nasihkh dan mansukh dan lain sebagainya. • Nabi Mengajarkan Ushul Fiqih Apakah Nabi pernah mengajari ushul
fiqih? Atau ilmu ushul fiqih hanya
buatan ulama’ saja? Teori hukum grafitasi ditemukan oleh
Isac Newton pada tahun 1687, tapi
bukan berarti gaya grafitasi belum ada
sebelum ditemukan oleh Isac Newton.
Imam Syafi’i (w. 204 H) memang
terkenal ulama yang pertama menuliskan kitab ushul fiqih, tapi ilmu
ijtihad telah diajarkan Nabi kepada
para shahabatnya. Nabi Muhammad selain meninggalkan
dua hal; al-Quran dan hadits juga
meninggalkan sistematika berpikir
dalam berijtihad memahami dua
peninggalan itu. Itulah yang menjadi
cikal bakal ushul fiqih sebagai ilmu pengetahuan saat ini. Sebagai contoh:
Ketika turun surat al-An’am: 82: ُﻢُﻬَﻟ َﻚِﺌَﻟﻭُﺃ ٍﻢْﻠُﻈِﺑ ْﻢُﻬَﻧﺎَﻤﻳِﺇ ﺍﻮُﺴِﺒْﻠَﻳ ْﻢَﻟَﻭ ﺍﻮُﻨَﻣﺁ َﻦﻳِﺬَّﻟﺍ
َﻥﻭُﺪَﺘْﻬُﻣ ْﻢُﻫَﻭ ُﻦْﻣَﺄْﻟﺍ Orang-orang yang beriman dan tidak
mencampuradukka n iman mereka dengan kezaliman, mereka Itulah yang
mendapat keamanan dan mereka itu
adalah orang-orang yang mendapat
petunjuk. Ketika turun ayat ini, para shahabat
bertanya: Apakah ada diantara kami,
orang yang tidak pernah dzalim? Nabi
menjawab: Apakah kalian tidak
membaca ayat [ٌﻢﻴِﻈَﻋ ٌﻢْﻠُﻈَﻟ َﻙْﺮِّﺸﻟﺍ َّﻥِﺇ]; [Q.S Luqman: 13], sesungguhnya syirik
adalah dzalim yang paling besar. [Tafsir
Ibnu Katsir, 3/263]. Sebelumnya para shahabat menyangka
makna dzalim diayat pertama
sebagaimana pemahaman umum
tentang dzalim. Ternyata maksud
dzalim disitu adalah syirik. Pengertian
ini diambil dari ayat lain. 3. Keadaan mustafid atau mujtahid atau
mustatsmir. Agar hasil ijtihad terhindar
dari kesalahan, maka tidak semua
orang layak menggali hukum dari al-
Quran maupun hadits. Maka disusunlah
beberapa kriteria mujtahid. Mulai dari adab mujtahid, pengetahuan yang luas
terhadap objek ijtihad, mengerti
bahasa arab secara mendalam, dan
masih banyak syarat lagi. Bukankah syarat itu yang menciptakan
manusia? Pertanyaan ini sering
terdengar dari para pegiat ‘free ijtihad’,
siapa saja boleh berijtihad dengan cara
seenaknya. Jika daftar menjadi satpam
saja ada syaratnya, maka dalam urusan halal dan haram agama pun sangat
dibutuhkan syarat-syarat bagi penggali
hukum. • Buah Ushul Fiqih Setelah mengetahui semua dalil, cara
memahami dalil tersebut dan terpenuhi
syarat mujtahid maka akan muncul
buahnya. Buah dari ushul fiqih adalah
hukum fiqih. Kebanyakan para ulama’
membagi hukum menjadi dua; taklify dan wadh’i. [Raudhatu an-Nadzir,
1/97-193]. Secara umum, hukum taklify terbagi
menjadi 5; wajib, sunnah, mubah,
makruh dan haram. Meskipun nanti
ada beberapa ulama’ yang menambahi
pembagiannya, seperti makruh tanzih
dan tahrim. Sedangkan hukum wadh’i berupa syarat, sebab, rukhshah,
azimah. Dalam pembahasan ushul fiqih,
tidak dikenal ‘ini hukumnya bid’ah’.
Karena bid’ah bukan hukum. Kebanyakan para ulama’ ushul dalam
mengarang kitabnya, diawali dengan
membahas buahnya dahulu, yaitu
hukum. • Wahabi Puber Religi Pada masa puber, seorang anak sudah
‘merasa’ bisa lepas diri dari orang
tuanya. Emosi yang bergejolak, sangat
peka dan menunjukkan reaksi yang
kuat pada berbagai peristiwa dan
situasi sosial, mempertanyakan dan menggugat segala sesuatu bahkan
terhadap hal yang sudah mapan,
kadang emosinya ketika sedang
meledak menjadi tidak proporsional.
Inilah beberapa ciri masa puber yang
biasa terjadi, masa dimana seseorang mencari jatidiri untuk menghadapi
kedewasaan kelak. Dalam beragama pun, sepertinya ada
kecenderungan seseorang melewati
masa puber religi ini, usianya
bermacam-macam. Biasa terjadi pada seseorang yang baru semangat belajar
agama. Hampir setiap kejadian dia ikut
berkomentar, menulis, mengkritisi.
Mempertanyakan kembali hal-hal yang
baru dia ketahui, mana dalilnya,
dalilnya shahih atau tidak, menggugat
banyak hal. Jika sudah berafiliasi kepada suatu kelompok, dengan buta
dia akan membela kelompoknya, tak
segan menyalahkan kelompok lain
yang tidak sependapat, emosinya
meledak jika ada orang yang
mengkritisi apa yang diyakininya. Seorang dalam masa puber religi,
merasa tak butuh dengan pendapat
orang lain, bahkan orang lain itu
ulama’ sekalipun. Dia menggugat,
mengapa tidak kembali kepada Quran
saja? jika sudah shahih suatu hadits kenapa masih butuh pendapat ulama’? Akhirnya dengan sedikit pengetahuan
terhadap bahasa arab dan terjemah,
dia mengambil hukum sendiri dari
Quran maupun hadits yang dianggap
shahih. Kadang juga, mengutip
pendapat ulama’ yang sesuai dengan kemauannya. Bahkan tak jarang,
mengolok-olok beberapa hasil ijtihad
ulama’ terdahulu karena dianggap
menyelisihi sunnah menurut versi
mereka, hudatsa’ al-asnan sufaha al-
ahlam. waAllahu a'lam